Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal...???

Rabu, 17 November 2010

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.
Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian Ulama` madzhab hanbali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (Fatwa Majlis Ulama` Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang telah meninggal, mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara khusus tanpa ada wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena Nabi saw tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai keluarganya yang telah meninggal seperti istri beliau tercinta Khadijah dan paman beliau Hamzah. Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyyah Syaikh ‘Utsaimin 51)

Arisan Qurban Kambing???

Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian Ulama` menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36). Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.

Sebagian Ulama` lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh ‘Utsaimin dan Ulama` tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. ‘Abdullah Al Faqih (Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh ‘Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang daripada berqurban.” [1] (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).

Namun pernyataan-pernyataan Ulama` di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap Ulama` yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian Ulama` untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada qurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi hutang atau orang yang memiliki hutang dan pemiliknya meminta agar segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.


[1] Hutang adalah wajib dilunasi. Qurban adalah sunnah mu`akkadah. Wajib didahulukan atas sunnah. Demikian alur pemikiran mereka yang menilai qurban hukumnya sunnah.

Seekor Kambing untuk Satu Keluarga...

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi 1505 dan beliau menilainya shahih: Minhâjul Muslim, 264 dan 266; juga dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani)


Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya qurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allâh sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: “Ya Allâh ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349).

Berdasarkan hadits ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan qurban onta hanya boleh dari maksimal 10 orang.

Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban.

Soal: Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan? Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian sedekah maupun hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah maupun hadiah.

Alhamdulillah

Alhamdulillah
PWM hadir di Etalase voa-islam

Taushiyah PWM

Rasululloh bersabda: "Tidaklah seorang hamba menutupi (aib) hamba yg lain di dunia, kecuali Alloh akan menutupi (aib)nya kelak di hari kiamat." HR.Muslim 6760

Kategori

Distro PWM CENTER

Distro PWM CENTER
Santri-Santri Dahsyat

Distro ANAMUSLIM

Distro ANAMUSLIM
JIHAD is My Spirit